top of page
Writer's pictureAndhika Prasetyo

Pemangsa yang menjadi mangsa: Status dan konservasi hiu dan pari di Perairan Indo-Pasifik

Pemangsa yang menjadi mangsa: Status dan konservasi hiu dan pari di Perairan Indo-Pasifik


Jakarta, 18 Mei 2017. Hiu dan pari merupakan jenis ikan dalam kelas Chondrichthyes (bertulang rawan) termasuk didalamnya Chimaera (lebih dikenal sebagai Ghost Shark). Kelas ini memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi (~1150) hampir per 2 minggu ditemukan spesies baru. Perairan Coral Triangle merupakan salah satu spot dengan biodiveristas Chondrichthyes yang sangat tinggi, (51-140 species). Pendahuluan tersebut disampaikan oleh Prof. Colin Simpredofer dalam kunjungannya ke Indonesia dalam rangka penandatangan kerja sama penelitian sekaligus memberikan kuliah umum yang bertajuk "Status dan konservasi elasmobranch di Perairan Indo-Pasifik".


Perhatian global meningkat terhadap hiu dan pari melihat ancaman yang nyata akan kepunahannya. IUCN (International Union for Conservation of Nature) yakni otoritas global yang menetapkan status konservasi sumberdaya hayati memasukkan 249 species Chondrichthyes dalam kategori terancam atau sekitar 25% dari total species Chondrichthyes, dimana 68 species tidak memiliki data yang cukup untuk dkaji statusnya. Hal yang menarik adalah lebih banyak pari yang terancam punah dibandingkan hiu (59%). Sebut saja sawfish atau ikan gergaji yang dihargai sangat mahal untuk rostrumnya entah sebagai koleksi atau penolak sihir. Tresher shark (hiu tikus) yang merupakan bycatch utama dari perikanan rawai tuna tak luput dari ancaman kepunahan.


Ancaman kepunahan bervariasi berdasarkan ekosistem dan letak geografis. Hal mengejutkan lain adalah perairan Indonesia dan negara tetangga yang tinggi biodiveritasnya harus menerima fakta bahwa tingkat kepunahan species ini sangatlah tinggi. Ditambah lagi, Indonesia masuk dalam salah satu negara pengekpor utama produk hiu. Dr. Toni Ruchimat selaku Kepala Pusat Riset Perikanan, BRSDMKP menjelaskan bahwa pengelolaan dan konservasi hiu dan pari di Indonesia menghadapi beberapa masalah utama, yakni tingginya tangkapan hiu dan pari sebagai tangkapan sampingan dan utama. Hal ini disebabkan masih terbatasnya mata-pencaharian alternatif bagi nelayan yang memanfaatkan sumberdaya hiu dan pari. Kondisi geografis Indonesia yang luas yang didominasi perairan, kerusakan habitat, kepadatan populasi penduduk yang tinggi, keterbatasan anggaran serta pendataan yang belum sistematis juga berdampak signifikan terhadap pengelolaan dan konservasi sumberdaya hiu dan pari.


Prof. Colin Lebih lanjut menyampai dalam konservasi hiu dan pari, pemahaman mengenai aspek sosial-ekonomi dibutuhkan untuk memberikan gambaran utuh latar belakang pemanfaatan sumber daya tersebut apakah dilatari keuntungan pasar, mata pencaharian atau ketahanan pangan.


"Hampir setengah lebih hiu dan pari yang terancam punah dikarenakan data yang sangat terbatas" Ujar Prof. Colin yang juga merupakan direktur Centre for Sustainable Tropical Fisheries and Aquaculture, James Cook University. Oleh karena itu, Global FinPrint Project (https://globalfinprint.org/) yakni inisiasi global yang didanai oleh Vulcan Foundation bertujuan untuk mengumpulkan data hiu dan pari yang berasosiasi dengan terumbu karang. Project ini menggunakan metode Baited Remote Under Water Video (BRUV), yakni penggunaan pendekatan video berumpan untuk mempelajari populasi dan tingkah laku pemangsa di ekosistem terumbu karang. Hal ini yang tengah dikerja-samakan di Indonesia yakni antara Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Puriskan, BRSDMKP dalam kurun waktu 2 tahun.


Selain BRUV, environmental DNA (eDNA) juga digunakan untuk mempelajari spesies-spesies langka. Bermodal sampel air, keberadaan spesies langka dapat diketahui seperti sawfish yang sangat sulit ditemukan sampel hidupnya. Idenya adalah setiap makhluk hidup akan meninggalkan DNA baik dari mucus, ekskresi atau sekresi yang dilakukan. Metode PCR yang berkembang pesat memudahkan analisis DNA dilakukan untuk keperluan pencocokan dna.


Prof. Colin yang juga Co-chair IUCN shark specialist group juga menjelaskan pemanfaatan teknologi telemetri untuk mempelajari pola distribusi dan migrasi ikan bertulang rawan ini. Informasi mengenai migrasi dan distribusi sangat penting untuk pengelolaan dan konservasi, seperti penetapan lokasi perlindungan untuk habitat kritis untuk pemijahan. Selain itu, dapat diketahui kemungkinan sharing stock beberapa jenis hiu. Hasil kajian menunjukkan beberapa jenis hiu di Perairan Indonesia dan Australia merupakan satu stock yang sama. Sehingga perlu kolaborasi untuk pengelolaannya. Informasi tersebut juga penting khusus dalam penyusunan Non Detrimental Findings (NDF), yakni kajian untuk mengijikan perdagangkan spesies yang masuk dalam list appendix II CITES dengan syarat manajemen dan konservasi yang baik bagi spesies tersebut.


Colin juga berpesan bagi generasi muda bahwa mereka tetap bisa berkontribusi positif bagi pengelolaan dan konservasi hiu dan pari, yakni perubahan sikap dan cara pandangan tentang hiu seperti berkata TIDAK untuk konsumsi produk hiu. Berkampanye tentang konservasi hiu dan pari di lingkungan sekitar juga menjadi salah satu langkah nyata yang perlu diapresiasi, dikembangan dan ditularkan.


Masih banyak yang belum dimengerti dari spesies ini bukan berarti kita tidak dapat melakukan sesuatu. Masih banyak peluang bagi kita untuk berkontribusi. Salam pengelolaan dan konservasi.


Cp. Andhika Prima Prasetyo

Peneliti pada Pusat Riset Perikanan

081574272686

dhika_fishery@kkp.go.id | dhika_fishery@yahoo.com


Photo credit: Rudy Masuswo Purwoko & Ofan Bosman


Presentation repository:http://bit.ly/2qthN7n


Video channel:http://bit.ly/2qu3pvM




5 views0 comments

Recent Posts

See All

Комментарии


bottom of page